Electronic Theses and Dissertation

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara khusus mengatur sistem pembuktian terbalik yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan dalam melakukan pembuktian terhadap perampasan harta kekayaan terdakwa apabila dilakukan dengan menggunakan teori pembuktian negatif. Pada penerapannya pembuktian terbalik mengakibatkan pro dan kontra karena dianggap telah menodai beberapa ketentuan hak asasi manusia dan asas praduga tidak bersalah.

Tujuan penulisan skripsi ini untuk menjelaskan pengaruh pembuktian terbalik terhadap proses penegakan hukum pada tindak pidana korupsi dan menjelaskan faktor faktor yang mempengaruhi keefektifan penerapan pembuktian terbalik dalam penanganan tindak pidana korupsi serta upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keefektifan pembuktian terbalik dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh.

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian dengan metode hukum yang dilakukan dengan cara pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, kaidah hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.

Hasil dari penelitian menunjukan bahwa pembuktian terbalik berpengaruh terhadap proses pengusutan korupsi. Penerapan pembuktian terbalik tidak lepas dari faktor yang berpotensi mempengaruhi keefektifannya yaitu, penerapan asas praduga tidak bersalah dan keharusan jaksa penuntut umum dalam membuktikan adanya perbuatan korupsi. Agar mekanisme pembuktian terbalik berjalan efektif, diperlukan upaya yang komprehensif dari berbagai pihak diantaranya, peranan hakim dan jaksa dalam penerapan pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dan pembuktian terbalik dilakukan secara perdata dalam hal pemblokiran, penyitaan dan perampasan harta kekayaan. Diharapkan adanya penyesuaian aturan hukum mengenai penerapan pembuktian terbalik yang lebih spesifik untuk memberikan dasar hukum yang jelas dalam menerapkannya. Diharapkan dalam penerapan pembuktian terbalik adanya kepastian bahwa hak terdakwa atas praduga tidak bersalah tetap dilindungi, serta adanya penyusunan bukti yang jelas dan komprehensif yang akan mempermudah pengadilan dalam menerapkan pembuktian terbalik.

Diharapkan profesioalisme yang tinggi antara berbagai pihak, terutama hakim dan jaksa dalam penerapan pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi, selain itu pembuktian terbalik juga perlu diterapkan secara perdata, khususnya terkait dengan pemblokiran, penyitaan, dan perampasan harta kekayaan, guna memberikan kejelasan dan kepastian hukum yang lebih kuat dalam proses penegakan hukum.

Article 37 of Law Number 31 of 1999, as amended by Law Number 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crimes, specifically regulates the reverse burden of proof system aimed at addressing difficulties in proving the confiscation of the defendant's assets when using the negative proof theory. In its implementation, the reverse burden of proof has led to pros and cons as it is considered to have violated certain provisions of human rights and the presumption of innocence principle. The purpose of this thesis is to explain the impact of the reverse burden of proof on the legal enforcement process in corruption cases, to elaborate on the factors influencing the effectiveness of implementing the reverse burden of proof in handling corruption crimes, and to explore efforts to improve the effectiveness of the reverse burden of proof in handling corruption cases at the Banda Aceh Corruption Court. The research method used is normative juridical, which is a legal research method based on primary legal materials by examining theories, concepts, legal norms, and regulations related to this study. The findings indicate that the reverse burden of proof significantly affects the investigation process of corruption. The application of the reverse burden of proof is influenced by factors that affect its effectiveness, such as adherence to the presumption of innocence principle and the prosecutor's obligation to prove the existence of corrupt acts. To ensure the effective implementation of the reverse burden of proof, comprehensive efforts from various parties are necessary, including the roles of judges and prosecutors in applying the reverse burden of proof in corruption cases. Additionally, reverse burden of proof should be applied in civil cases, particularly in asset blocking, seizure, and confiscation. It is expected that legal regulations concerning the implementation of the reverse burden of proof will be adjusted to provide a clearer legal basis for its application. It is also hoped that in implementing the reverse burden of proof, the defendant's rights to the presumption of innocence are preserved, and clear and comprehensive evidence is compiled to facilitate the courts in applying the reverse burden of proof. High professionalism among various parties, particularly judges and prosecutors, is also required in applying the reverse burden of proof in corruption cases. Moreover, the reverse burden of proof should also be applied in civil matters, especially in relation to the blocking, seizure, and confiscation of assets, to provide stronger legal clarity and certainty in the law enforcement process.