KONSTRUKSI NORMATIF RANGKAP KEANGGOTAAN PARTAI POLITIK BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA | ELECTRONIC THESES AND DISSERTATION

Electronic Theses and Dissertation

Universitas Syiah Kuala

    DISSERTATION

KONSTRUKSI NORMATIF RANGKAP KEANGGOTAAN PARTAI POLITIK BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA


Pengarang

Apri Rotin Djusfi - Personal Name;

Dosen Pembimbing

Prof. Eddy Purnama, S.H., M.Hum. - 196205261989031002 - - - Dosen Pembimbing I
M. Gaussyah - 197412201999031001 - Dosen Pembimbing II
Dr. Mahdi Syahbandir, S.H., M.H. - 196402011990021004 - - - Dosen Pembimbing III



Nomor Pokok Mahasiswa

1803301010005

Fakultas & Prodi

Fakultas Hukum / Ilmu Hukum (S3) / PDDIKTI : 74001

Subject
-
Kata Kunci
-
Penerbit

Banda Aceh : Program Studi Doktor Ilmu Hukum Unsyiah., 2024

Bahasa

No Classification

-

Literature Searching Service

Hard copy atau foto copy dari buku ini dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan hubungi via telegram (Chat Services LSS)

Partai politik lokal menjadi salah satu terobosan politik dalam memperkuat otonomi khusus bagi Aceh. Pasal 83 ayat (3) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal di Aceh menyatakan bahwa untuk membuka ruang partisipasi anggota partai politik lokal dalam pemilihan umum nasional, anggota partai politik lokal secara perseorangan dapat merangkap keanggotaan 1 (satu) partai politik. Sedangkan anggota partai politik dilarang merangkap anggota dengan partai politik lain. Masalah pokok penelitian ialah apakah pengaturan tentang partai politik lokal di Aceh sesuai dengan penjabaran UUD NRI 1945, apakah rangkap keanggotaan partai politik sesuai dengan Pancasila dan bagaimanakah sistem partai politik lokal di negara lain.
Penelitian dan pengkajian ini bertujuan untuk menemukan pengaturan partai politik lokal di Aceh berdasarkan penjabaran UUD NRI 1945, mengkaji dan menemukan konsep keanggotaan partai politik berdasarkan Pancasila, dan mengkaji sistem partai politik lokal di negara lain.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan menelaah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh, baik dari bahan hukum primer, sekunder, tersier, serta informasi dari para ahli kemudian dianalisis melalui pendekatan kualitatif yaitu dengan cara melakukan interpretasi (penafsiran) terhadap bahan-bahan hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama. Kedudukan Undang Undang Pemerintahan Aceh sebagai bagian dari sistem hukum nasional, sehingga materi muatan di dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Rangkap keanggotaan partai politik lokal dengan partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (3) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Pengaturan tentang partai politik lokal juga belum sesuai dengan penjabaran dari Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Kemudian Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 kembali menegaskan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Kerjasama antara partai politik lokal dengan partai politik cukup secara kelembagaan saja tanpa harus memberikan ruang untuk melakukan rangkap keanggotaan. Kedua. Nilai ketuhanan dalam Pancasila menunjukkan adanya gagasan ketuhanan tidaklah pernah ditinggalkan dalam kehidupan berfikir manusia serta meletakkan perlindungan bagi kepentingan kebersamaan dibandingkan kepentingan individu. Rangkap keanggotaan menunjukkan kepentingan individu yang dikedepankan dari pada kepentingan bersama. Rangkap keanggotaan partai politik lokal dengan partai politik bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat Pancasila. Hal ini dapat dilihat dari kebijaksanaan yang diambil tidak seimbang atau hanya memprioritaskan kepentingan satu orang saja diatas kepentingan golongan yang lain. Rangkap keanggotaan akan menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakseimbangan implementasi hak dan kewajiban sehingga bertentangan dengan sila kelima Pancasila. Ketiga. Sistem kepartaian di Inggris tidak mengenal istilah partai politik lokal dan nasional. Ruang rangkap keanggotaan menjadi tidak diperlukan atas pertimbangan bahwa partai politik di Inggris dapat mengajukan untuk ikut pemilu di semua tingkatan atau cukup pada satu atau beberapa tingkatan pemilihan yang ada di sana. Sedangkan sistem kepartaian di Filipina, khususnya di daerah otonomi Bangsamoro hanya partai politik daerah yang telah terakreditasi dapat ikut serta dalam pemilihan parlemen daerah. Berkaitan dengan keanggotaan partai politik, seseorang hanya diperbolehkan menjadi anggota dari satu partai politik.
Disarankan agar DPR RI dan Presiden melakukan revisi terhadap Undang Undang tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, khususnya berkenaan dengan hak secara perseorangan anggota partai politik lokal untuk merangkap keanggotaan dengan partai politik dalam rangka keikutsertaan di pemilu legislatif tingkat nasional. Dalam rangka pelaksanaan praktik demokrasi di Indonesia perlu kiranya membuka ruang partisipasi kepada partai politik lokal di Aceh agar dapat mengikuti pemilu legislatif tingkat nasional sebagaimana pemilu di tahun 1955. Afiliasi partai politik lokal di Aceh dengan partai politik seharusnya dilakukan hanya secara kelembagaan bukan secara perseorangan dan apabila ingin memperjuangkan aspirasi daerah serta masyarakat Aceh di nasional lebih tepatnya dengan memperkuat fungsi DPD RI.

Kata Kunci: Rangkap Keanggotaan dan Partai Politik

Local political parties are a significant political innovation aimed at strengthening Aceh’s special autonomy. Article 83, paragraph (3) of Law Number 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh and Article 11, paragraph (1) of Government Regulation Number 20 of 2007 concerning Local Political Parties in Aceh stated that individual members of local political parties may concurrently hold membership in one (1) national political party, thus participating in national general elections. However, this contrasts with the rule for national political party members, who are prohibited from holding concurrent membership in other parties. The key issues addressed in this research include whether the regulations concerning local political parties in Aceh align with the provisions of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, whether the practice of concurrent membership complies with Pancasila, and how this practice compares to local political party systems internationally. This study aims to explore the regulations governing local political parties in Aceh within the framework of the 1945 Constitution, examine and conceptualize political party membership in accordance with Pancasila, and compare local political party systems in other countries. The research adopts a normative legal approach, utilizing primary, secondary, and tertiary legal materials, alongside expert opinions. The data are analyzed qualitatively through content analysis. This research findings indicate that, firstly, the Aceh Governance Law, as part of the national legal system, must not contradict higher legislation. The provision for concurrent membership in both local and national political parties, as stated in Article 83, paragraph (3) of Law Number 11 of 2006, contradicts the People’s Consultative Assembly Decree Number VI/MPR/2001 on the Ethical Code of the Nation’s Life. Furthermore, the regulations for local political parties do not align with Article 28D, paragraph (3) of the 1945 Constitution, which guarantees every citizen equal opportunity in governance, and Article 28I, paragraph (2), which ensures freedom from discrimination. Collaboration between local and national political parties should be institutional rather than individual. Secondly, the principle of divinity in Pancasila emphasizes the collective over the individual. Concurrent membership prioritizes individual interests over collective interests and contradicts the fourth and fifth principles of Pancasila, leading to ambiguity and imbalance in the rights and obligations of political party members. Thirdly, the party system in the United Kingdom does not distinguish between local and national political parties, and concurrent membership is unnecessary. In the Philippines, particularly in the Bangsamoro Autonomous Region, only accredited local political parties can participate in regional elections, and individuals can only hold membership in one political party. It is recommended that the House of Representative of Indonesia Republic (Dewan Perwakilan Rakyat - RI) and the President revise the laws regarding the Governance of Aceh and Local Political Parties, especially the provisions allowing concurrent membership in national political parties. To promote democratic practices, opportunities should be opened for local political parties in Aceh to participate in national elections, as was the case in 1955. Affiliation between local and national political parties should be institutional, and regional aspirations should be represented through the strengthening of the role of the Regional Representative Council of Indonesia Republic (Dewan Perwakilan Daerah – RI)). Keywords: Concurrent Membership and Political Parties

Citation



    SERVICES DESK