Electronic Theses and Dissertation

Pengangkatan Kapolda Aceh dengan persetujuan Gubernur Aceh yang dilekatkan pada ketentuan Pasal 205 UUPA jika dilihat dari sudut pandang yuridis semata maka akan mengarah pada disinkronisasi aturan, yaitu keberadaan urusan pemerintahan absolut yang berhubungan dengan masalah keamanan sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 UU Pemda. Namun demikian, ketika dilihat dari sudut pandang filosofis yang menekankan pada unsur historis maka pada dasarnya ketentuan Pasal 205 UUPA merupakan wujud penghormatan negara terhadap Aceh dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus sebagai perantara pemahaman holistik Kapolda atas Aceh.
Tujuan penelitian dan pengkajian ini adalah untuk menemukan dasar filosofi kewenangan Gubernur Aceh dalam memberikan persetujuan pengangkatan Kapolda. Menggambarkan dan menemukan konsep kewenangan Gubernur Aceh dalam memberikan persetujuan pengangkatan Kapolda Aceh sesuai dengan paradigma negara kesatuan serta menemukan prosedur yang ideal atas persetujuan Gubernur Aceh dalam pengangkatan Kapolda.
Jenis penelitian adalah yuridis normatif, dengan metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach), pendekatan sejarah (Historical Approach), dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach). Penelitian ini adalah penelitian yang mengandalkan kepada sumber data sekunder dari studi kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dasar filosofi kewenangan Gubernur Aceh dalam memberikan persetujuan pengangkatan Kapolda Aceh merupakan representasi dari negara dalam memberikan penghormatan kepada masyarakat Aceh yang telah mendukung secara totalitas terhadap kemerdekaan Indonesia, sekaligus cara negara dalam mempertahankan Aceh ke dalam pangkuan ibu pertiwi serta memahami secara mendalam akan keberadaan masyarakat Aceh dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan Gubernur Aceh dalam memberikan persetujuan pengangkatan Kapolda Aceh sesuai dengan paradigma negara kesatuan dapat dilekatkan pada Pasal 18 UUD 1945 yang dijabarkan dengan ketentuan Pasal 205 UUPA. UUPA menjadi katalisator kewenangan gubernur tersebut. Namun demikian, haruslah diikuti oleh pertimbangan dari berbagai kelembagaan di Aceh seperti Wali Nanggroe, MPU bahkan DPRA. Prosedur yang ideal atas persetujuan Gubernur Aceh dalam pengangkatan Kapolda dengan dilekatkannya pandangan filosofis dalam pengangkatan Kapolda Aceh. Selain itu, penjalinan koordinasi dengan Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) harus dilakukan. Gubernur berperan dan memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan semua pimpinan instansi vertikal di daerah untuk mewujudkan kamtibmas yang kondusif.
Disarankan untuk mempertegas keberadaan Pasal 205 UUPA dengan membuat aturan pelaksananya dalam bentuk Peraturan Presiden, sehingga pelaksanaan Pasal 205 UUPA menjadi jelas dan ada kepastian terutama terkait dengan mekanisme pengangkatan Kapolda Aceh. Adanya penyesuaian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengangkatan Kapolda Aceh atas persetujuan Gubernur Aceh, sehingga tidak ada disinkronisasi antara satu perundangan dengan perundangan lainnya. Adanya sinkronisasi aturan hukum mengenai kewenangan penegakan hukum antara Kepolisian dengan Wilayatul Hisbah sebagai lembaga adat yang mengurusi aturan pelaksanaan syariat Islam, sehingga pelaksanaan ketertiban di Aceh dapat terlaksana.

The appointment of the Aceh Police Chief with the approval of the Governor of Aceh attached to the provisions of Article 205 of the UUPA, if viewed from a purely legal perspective, will lead to a synchronization of regulations, namely the existence of absolute government affairs related to security issues as stated in Article 10 of the Regional Government Law. However, when viewed from a philosophical perspective that emphasizes historical elements, the provisions of Article 205 of the UUPA are basically a form of state respect for Aceh in maintaining the unitary state of the Republic of Indonesia as well as an intermediary for the holistic understanding of the Chief of Police over Aceh. The purpose of this research and study is to find the philosophical basis for the authority of the Governor of Aceh in granting approval for the appointment of the Chief of Police. Describe and find the concept of the authority of the Governor of Aceh in granting approval for the appointment of the Aceh Police Chief in accordance with the paradigm of a unitary state and find the ideal procedure for the approval of the Governor of Aceh in the appointment of the Chief of Police. The type of research is normative legal, with the approach methods used are the statutory approach (Statute Approach), conceptual approach (Conceptual Approach), historical approach (Historical Approach), and comparative approach (Comparative Approach). This research is a research that relies on secondary data sources from literature studies that are analyzed qualitatively. The results of the study show that the philosophical basis of the authority of the Governor of Aceh in granting approval for the appointment of the Aceh Police Chief is a representation of the state in paying respect to the Acehnese people who have totally supported Indonesia's independence, as well as the state's way of maintaining Aceh in the bosom of the motherland and deeply understanding the existence of the Acehnese people in the structure of the Unitary State of the Republic of Indonesia. The authority of the Governor of Aceh in granting approval for the appointment of the Aceh Police Chief in accordance with the paradigm of a unitary state can be attached to Article 18 of the 1945 Constitution which is described in the provisions of Article 205 of the UUPA. The UUPA is a catalyst for the governor's authority. However, it must be followed by considerations from various institutions in Aceh such as Wali Nanggroe, MPU and even DPRA. The ideal procedure for the approval of the Governor of Aceh in the appointment of the Police Chief is by attaching a philosophical view to the appointment of the Aceh Police Chief. In addition, coordination with the Wilayatul Hisbah (Sharia Police) must be carried out. The Governor plays a role and has the authority to coordinate all leaders of vertical agencies in the region to realize conducive public order. It is recommended to emphasize the existence of Article 205 of the UUPA by making its implementing rules in the form of a Presidential Regulation, so that the implementation of Article 205 of the UUPA becomes clear and there is certainty, especially related to the mechanism for appointing the Aceh Regional Police Chief. There is an adjustment to the laws and regulations related to the appointment of the Aceh Police Chief with the approval of the Governor of Aceh, so that there is no synchronization between one law and another. There is synchronization of legal regulations regarding the authority to enforce the law between the Police and the Wilayatul Hisbah as a customary institution that handles the rules for implementing Islamic law, so that the implementation of order in Aceh can be carried out.