KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM MENGHABISKAN HARTA WARISAN DI INDONESIA (STUDI TERHADAP YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA) | ELECTRONIC THESES AND DISSERTATION

Electronic Theses and Dissertation

Universitas Syiah Kuala

    DISSERTATION

KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM MENGHABISKAN HARTA WARISAN DI INDONESIA (STUDI TERHADAP YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA)


Pengarang

ROSLINA - Personal Name;

Dosen Pembimbing

Prof. Dr Syahrizal Abbas, M.A - - - Dosen Pembimbing I
Prof. Dr. Ilyas , S.H. M.Hum - 196506281990031001 - - - Dosen Pembimbing II
Iman Jauhari - 196609031994031004 - Dosen Pembimbing III
ilyas yunus - - - Penguji



Nomor Pokok Mahasiswa

1703301010009

Fakultas & Prodi

Fakultas Hukum / Ilmu Hukum (S3) / PDDIKTI : 74001

Subject
-
Kata Kunci
-
Penerbit

Banda Aceh : Fakultas Hukum (S3)., 2024

Bahasa

No Classification

-

Literature Searching Service

Hard copy atau foto copy dari buku ini dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan hubungi via telegram (Chat Services LSS)

Perkembangan hukum kewarisan di Indonesia dewasa ini mengalami kemajuan yang cukup penting bagi kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris di dalam menerima harta warisan. Telah terjadi pembaruan hukum di mana anak perempuan dapat menjadi mahjub (penghalang) bagi saudara pewaris dalam menerima warisan. Putusan kewarisan dalam lingkup peradilan agama terkait pembaruan hukum tersebut diatas telah menjadi yurisprudensi. Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam beberapa putusannya antara lain putusan Nomor 86 K/AG/1994 tanggal 27 Juli 1995; Putusan Nomor 184 K/AG/1995 tanggal 30 September 1996, Putusan Nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30 April 1996, Putusan Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26 Juli 1996, Putusan Nomor : 327 K/AG/1997
tanggal 26 Februari 1998, dan Putusan Nomor 241 K/AG/2002; menetapkan anak perempuan dapat menghijab saudara pewaris dalam menerima harta warisan, dan anak perempuan dapat menghabiskan seluruh harta warisan. Yurisprudensi ahkamah Agung Republik Indonesia tersebut berbeda dengan ketentuan yang terlegalitas dalam Al-Qur’an, fikih Sunni maupun Kompilasi Hukum Islam dimana anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, jika dua orang atau lebih mendapatkan dua pertiga bagian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, menganalisis dan menjelaskan kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris menurut ketentuan Hukum Islam di Indonesia, mengkaji, menganalisis dan menjelaskan logika yuridis Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan anak perempuan dapat menghabiskan harta warisan, dan juga mengkaji, menganalisis dan menjelaskan dampak putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap posisi anak perempuan dalam menghabiskan harta warisan

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan kasus (case approach). Bahan hukum dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research), mengadakan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, jurnal ilmu hukum, buku-buku ilmiah, hasil penelitian ilmiah dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian normatif ini dilakukan dengan studi dokumentasi terhadap bahan-bahan penelitian yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan hukum tersier yang terkait dengan penelitian ini. Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier semua informasi dari berbagai sumber yang dihimpun akan dianalisis secara yuridis normatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan dalam ketentuan hukum Islam dapat menghabiskan harta warisan. Anak perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan anak laki-laki sehingga dapat menghijab saudara pewaris baik laki-laki maupun perempuan. Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam pertimbangan hukumnya berpendapat selama ada anak baik laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami atau isteri menjadi tertutup/terhijab. Mahkamah Agung Republik Indonesia mengatakan bahwa pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas, salah seorang ahli tafsir di kalangan Sahabat Nabi dalam menafsirkan kata “walad” pada ayat 176 surat anNisa’ yang berpendapat pengertiannya mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Mahkamah Agung Republik Indonesia mempertimbangkan anak perempuan sama dengan anak laki-laki, setidaknya dari kekuatan anak perempuan untuk menghijab saudari/saudara pewaris dari pembagian harta warisan. Ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia memandang kasus ini sebagai titik tolak yang bisa dipakai untuk memberikan respons positif terhadap kebutuhan akan kesetaraan dalam kewarisan Islam. Meskipun anak perempuan tidak memiliki posisi yang sama dengan anak laki-laki dalam penghitungan bagian warisan, namun ketiadaan anak laki-laki akan berarti bahwa anak perempuan dapat mengambil seluruh harta warisan, karena kerabat yang lain berada pada posisi yang lebih lemah. Pertimbangan utama dalam pembagian harta warisan yang dilakukan hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia bukanlah jenis kelamin, akan tetapi sejauh mana kedekatan posisi hubungan darah ahli
waris dengan pewaris. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut memberi dampak yang sangat penting, karena melalui yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia telah melakukan pembaruan hukum waris Islam dari eorang anak perempuan menerima separuh bagian, dua orang atau lebih mendapat dua pertiga bagian, menuju anak perempuan menerima seluruh harta warisan. Hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada, yang dianggap tidak relevan dengan perubahan zaman, dan tidak mampu menciptakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Hukum secara empirik bukan merupakan hal yang statis, tetapi selalu mengikuti perubahan masyarakat, oleh sebab itu disarankan kepada hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menetapkan “Anak perempuan dapat menghabiskan harta warisan” diharapkan dapat menyebarkan cita-cita kewarisan nasional, karena menurut norma-norma hukum nasional, keadilan yang tak memandang perbedaan kelamin adalah salah satu kriteria terpenting dalam pembagian harta warisan yang adil. Prinsip ini bisa diwujudkan jika hakim-hakim Agung dan hakim-hakim agama mau membawa praktik kewarisan Islam segaris dengan norma-norma hukum nasional, menjadikannya sebagai rujukan dalam konteks perundang-undangan di Indonesia. Disarankan kepada hakim-hakim agama agar mengikuti putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam mengadili perkara yang serupa, dan menetapkan anak perempuan dapat menghabiskan harta warisan dan menghijab saudara pewaris untuk mendapat warisan. Disamping itu juga disarankan kepada pemerintah sebagai pembuat peraturan perundang-undangan agar yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menetapkan anak perempuan dapat menghabiskan harta warisan mempunyai kekuatan hukum, untuk dapat dimasukkan menjadi bahan pembuatanUndang-Undang Kewarisan Nasional.

The development of inheritance law in Indonesia today has significantly improved the position of daughters as heirs in receiving inheritance. According to a legal reform, daughters can become mahjub (barriers) for the heir's siblings when receiving inheritance. Religious courts have established jurisprudence on inheritance decisions related to the aforementioned legal reform. The Supreme Court of the Republic of Indonesia in several of its decisions, including Decision No. 86 K/AG/1994 dated July 27, 1995; Decision No. 184 K/AG/1995 dated September 30, 1996; Decision No. 122 K/AG/1995 dated April 30, 1996; Decision No. 218 K/AG/1993 dated July 26, 1996; Decision Number 327 K/AG/1997 dated February 26, 1998; and Decision Number 241 K/AG/2002, stipulating that daughters can hijab (block) the heir's siblings in receiving the inheritance, and daughters can spend the entire inheritance. The jurisprudence of the Supreme Court of the Republic of Indonesia differs from the legalised provisions in the Quran, Sunni fiqh, and the Compilation of Islamic Law, where one daughter gets half the share, and two or more get a two-thirds share. This research aims to examine the position of daughters as heirs according to the provisions of Islamic Law in Indonesia, analyse the juridical logic of the Supreme Court's decision to allow daughters to spend the entire inheritance, and explain the impact of the Supreme Court's decision on the position of daughters in spending the inheritance. This research employs a normative juridical method, using a statutory, conceptual, historical, and case approach. Legal materials in this study were obtained utilising library research, conducting searches of laws and regulations, court decisions, legal science journals, scientific books, scientific research results, and documents related to the object study. The technique of collecting legal materials for this normative research involves examining the documentation of research materials, including primary, secondary, and tertiary legal materials relevant to the study. Primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials, as well as all information collected from various sources, will be analysed as juridically normative The results showed that daughters, under the provisions of Islamic law, are positioned as dhawil furudh, where their share in the inheritance has been determined with certainty. Daughters do not independently act as asabah, allowing hem to spend their entire inheritance. The Supreme Court, in its legal considerations, argued that as long as there are children, both sons and daughters, then the inheritance rights of people who have blood relations with the testator cept parents, husbands, or wives become hindered (hijab). The Supreme Court of the Republic of Indonesia said that this opinion is in line with the opinion of Ibn Abbas, one of the commentators among the Companions of the Prophet, in interpreting the word "walad" in verse 176 of Surah an-Nisa, which argues that the meaning includes both sons and daughters. The Supreme Court of the Republic of Indonesia considers daughters equal to sons, at least from the power of girls, to prevent the testator's sisters or brothers (siblings) from sharing the inheritance. This suggests that the Supreme Court of the Republic of Indonesia views this case as a arting point to positively respond to the need for gender equality in Islamic inheritance. Although daughters do not have the same position as sons in the calculation of inheritance shares, the absence of sons would mean that daughters could take the entire estate, as other relatives are in a weaker position. The judges of the Supreme Court of the Republic of Indonesia prioritize the closeness of the heir's blood relationship with the testator over gender when dividing inheritance. The Supreme Court of the Republic of Indonesia's decision has a significant impact because, through jurisprudence, it has reformed Islamic inheritance law from a daughter receiving half of the share, two or more people receiving two-thirds of the share, to the daughter receiving the entire inheritance. Judges have the authority to interpret the provisions of the existing written law, which is considered irrelevant to the changing times and unable to create justice in the midst of community life.Empirically, the law is not static but always follows societal changes. Therefore, it is recommended that judges, as enforcers of law and justice, explore, understand, and follow the legal values that exist and develop in society. It is expected that the Supreme Court of the Republic of Indonesia's decision, which stipulates that "Daughters can spend the entire inheritance," will propagate the ideals of national inheritance. This is because national legal norms consider justice, irrespective of gender differences, as a crucial factor in the equitable distribution of inheritance. This principle can be realised if the Supreme Court and religious judges are willing to bring Islamic inheritance practice in line with national legal norms, making it a reference in Indonesian legislation. It is suggested to the government as the legislator that the jurisprudence of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, stipulating that daughters can spend inheritance property, has legal force to be included in the National Inheritance Law.

Citation



    SERVICES DESK