Electronic Theses and Dissertation
Universitas Syiah Kuala
THESES
KEWENANGAN BADAN PENGELOLA MIGAS ACEH DALAM PERANCANGAN KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI
Pengarang
Muhammad Makmun - Personal Name;
Dosen Pembimbing
Nomor Pokok Mahasiswa
2003201010069
Fakultas & Prodi
Fakultas Hukum / Ilmu Hukum (S2) / PDDIKTI : 74101
Subject
Kata Kunci
Penerbit
Banda Aceh : Fakultas Hukum (S2)., 2024
Bahasa
No Classification
-
Literature Searching Service
Hard copy atau foto copy dari buku ini dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan hubungi via telegram (Chat Services LSS)
KEWENANGAN BADAN PENGELOLA MIGAS ACEH
DALAM PERANCANGAN KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI
Muhammad Makmun
Faisal
Sanusi
ABSTRAK
Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi Aceh (BPMA) merupakan badan yang
memiliki kewenangan dalam menentukan rancangan kontrak bagi hasil minyak dan gas
bumi (migas) di Provinsi Aceh. Sejak terbentuknya badan tersebut, kontrak bagi hasil yang
digunakan ialah pola cost recovery. Namun, pada tahun 2020 terbit Peraturan Menteris
ESDM Nomor 12 Tahun 2020 sebagai perubahan ke tiga dari Peraturan Menteri ESDM
Nomor No.8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang merekomendasikan
agar mengubah pola kontrak bagi hasil cost recovery kepada pola gross split.
Permasalahannya ialah, pada penerapannya perubahan pola kontrak tersebut memerlukan
analisis hukum tentang kewenangan BPMA dalam menentukan pola kontrak bagi hasil
mogas, serta analisis terhadap kesesuaian pola kontrak tersebut di wilayah Aceh.
Tujuan penelitian ini antara lain: (1) menganalisis kewenangan BPMA dalam
perancangan kontrak bagi hasil migas berdasarkan Pasal 160 Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015
tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, (2)
menganalisis kontrak bagi hasil migas pola Cost Recovery dan Grosst Split berdasarkan
identitas dan kewenangan Khusus Aceh sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan
pendekatan pendekatan perundang undangan (Statute approach), perbandingan
(comparative approach), dan konsep (conceptual approach).
Hasil penelitian menunjukkan BPMA memiliki kewenangan sebagai regulator yang
mendapatkan delegasi khusus dalam pengelolaan bersama sumber daya alam migas di
Aceh. Tugas utama BPMA ialah mengelola, mengontrol dan mengawasi kontrak bagi hasil
(KBH) dan melakukan negosiasi serta penandatanganan kontrak kerja sama. BPMA dalam
merancang kontrak bagi hasil migas di Aceh menggunakan beberapa sumber hukum yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 33 ayat (3), Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Pemberlakukan
kontrak bagi hasil akan mempengaruhi kewenangan BPMA sebagai pengelola migas di
aceh. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas di Aceh, tegas menyebutkan bahwa kontrak
bagi hasil yang digunakan adalah Cost recovery. Pola tersebut meningkatkan kewenangan
BPMA sebagai regulator pengelolaan migas di Aceh, mempengaruhi pembuatan kebijakan,
menjaga kepentingan masyarakat Aceh dan pembangunan daerah sesuai dengan amanat
Undang-Undang Pemerintah Aceh. Pola kontrak bagi hasil migas cost recovery
memanfaatkan sumber daya alam sektor migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran
masyarakat Aceh dan daerah.
KEWENANGAN BADAN PENGELOLA MIGAS ACEH DALAM PERANCANGAN KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI Muhammad Makmun Faisal Sanusi ABSTRAK Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi Aceh (BPMA) merupakan badan yang memiliki kewenangan dalam menentukan rancangan kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) di Provinsi Aceh. Sejak terbentuknya badan tersebut, kontrak bagi hasil yang digunakan ialah pola cost recovery. Namun, pada tahun 2020 terbit Peraturan Menteris ESDM Nomor 12 Tahun 2020 sebagai perubahan ke tiga dari Peraturan Menteri ESDM Nomor No.8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang merekomendasikan agar mengubah pola kontrak bagi hasil cost recovery kepada pola gross split. Permasalahannya ialah, pada penerapannya perubahan pola kontrak tersebut memerlukan analisis hukum tentang kewenangan BPMA dalam menentukan pola kontrak bagi hasil mogas, serta analisis terhadap kesesuaian pola kontrak tersebut di wilayah Aceh. Tujuan penelitian ini antara lain: (1) menganalisis kewenangan BPMA dalam perancangan kontrak bagi hasil migas berdasarkan Pasal 160 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, (2) menganalisis kontrak bagi hasil migas pola Cost Recovery dan Grosst Split berdasarkan identitas dan kewenangan Khusus Aceh sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan pendekatan perundang undangan (Statute approach), perbandingan (comparative approach), dan konsep (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan BPMA memiliki kewenangan sebagai regulator yang mendapatkan delegasi khusus dalam pengelolaan bersama sumber daya alam migas di Aceh. Tugas utama BPMA ialah mengelola, mengontrol dan mengawasi kontrak bagi hasil (KBH) dan melakukan negosiasi serta penandatanganan kontrak kerja sama. BPMA dalam merancang kontrak bagi hasil migas di Aceh menggunakan beberapa sumber hukum yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 33 ayat (3), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Pemberlakukan kontrak bagi hasil akan mempengaruhi kewenangan BPMA sebagai pengelola migas di aceh. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas di Aceh, tegas menyebutkan bahwa kontrak bagi hasil yang digunakan adalah Cost recovery. Pola tersebut meningkatkan kewenangan BPMA sebagai regulator pengelolaan migas di Aceh, mempengaruhi pembuatan kebijakan, menjaga kepentingan masyarakat Aceh dan pembangunan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemerintah Aceh. Pola kontrak bagi hasil migas cost recovery memanfaatkan sumber daya alam sektor migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Aceh dan daerah.
EKSISTENSI BADAN PENGELOLA MINYAK DAN GAS BUMI DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MINYAK DAN GAS BUMI DI ACEH (SAFRIZAL, 2020)
PELAKSANAAN KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI ANTARA BADAN PENGELOLA MIGAS ACEH DAN TRIANGLE PASE INC DI WILAYAH KERJA PASE, KABUPATEN ACEH UTARA DAN ACEH TIMUR (AMIRA NURDIN, 2019)
KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA (STUDI PERBANDINGAN ANTARA KONTRAK BAGI HASIL GROSS SPLIT DENGAN KONTRAK BAGI HASIL COST RECOVERY) (ZAKIA VONNA, 2019)
PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN PENGELOLAAN MIGAS ACEH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BERSAMA SUMBER DAYA ALAM MINYAK DAN GAS BUMI DI ACEH (, 2018)
REKONSTRUKSI HUKUM PENJABARAN KONSEP PENGELOLAAN BERSAMA MINYAK DAN GAS BUMI ACEH DALAM KONTRAK BAGI HASIL PENANAMAN MODAL ASING YANG BERKEADILAN (Nurdin M.H, 2023)