TINJAUAN HUKUM PEMBUKTIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI KARENA PERINTAH ATASAN | ELECTRONIC THESES AND DISSERTATION

Electronic Theses and Dissertation

Universitas Syiah Kuala

    THESES

TINJAUAN HUKUM PEMBUKTIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI KARENA PERINTAH ATASAN


Pengarang

Ishak - Personal Name;



Nomor Pokok Mahasiswa

2203201010068

Fakultas & Prodi

Fakultas Hukum / Ilmu Hukum (S2) / PDDIKTI : 74101

Penerbit

Banda Aceh : Fakultas Hukum (S2)., 2024

Bahasa

Indonesia

No Classification

345.023 23

Literature Searching Service

Hard copy atau foto copy dari buku ini dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan hubungi via telegram (Chat Services LSS)

Sanksi terhadap tindak pidana korupsi oleh mereka yang memiliki wewenang, jabatan, serta kedudukan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Terhadap kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh bawahan atas perintah atasan seharusnya dapat memperhatikan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) KUHP yang menyatakan terhadap perbuatan yang dilaksanakan karena perintah jabatan, diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Selanjutnya Pasal 51 ayat (2) KUHP juga menyatakan bahwa terhadap perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya. Akan tetapi, pada faktanya pasal tersebut sering diabaikan, beberapa kasus yang terjadi terhadap bawahan pelaku tindak pidana korupsi tetap diproses dengan frasa “menguntungkan orang lain” sebagaimana yang tertera pada Pasal 3 UU PTPK.
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini antara lain: (1) Mengapa tindak pidana korupsi karena perintah atasan dapat dihukum?, dan (2) Bagaimana analisa hukum terhadap pembuktian kasus tindak pidana korupsi karena perintah atasan?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai ketentuan tindak pidana korupsi karena perintah atasan dapat dihukum atau tidak, serta dapat menjelaskan mengenai analisa hukum terkait pembuktian kasus tindak pidana korupsi karena perintah atasan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan melihat aspek-aspek hukum berdasarkan aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi guna menjawab isu permasalahan yang ada. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (case approach). Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum serta berhubungan dengan topik yang dibahas. Untuk mendapatkan data tambahan, penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara dengan narasumber yang dianggap relevan dengan penelitian. Data-data yang telah diperoleh kemudian dianalisa melalui pendekatan secara analisis kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan metode deduktif yang menghasilkan suatu kesimpulan bersifat umum terhadap permasalahan dan tujuan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan UU PTPK telah mengatur tidak diizinkannya korupsi yang dilakukan karena perintah atasan, dan jika dikaitkan dengan Pasal 51 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa terhadap seorang bawahan yang melakukan korupsi karena perintah atasan, maka berlaku penghapusan pidana terhadap bawahan tersebut. Oleh karena itu dalam memeriksa kasus tindak pidana korupsi,Hakim harusnya dapat membedakan antara perintah atasan yang sah dan yang tidak dengan mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain: bukti yang cukup, analisis yuridis, pengujian terhadap yang dihadirkan, faktor psikologis, faktor sosiolegal, ratio decidendi, serta konteks dan preseden historis. Analisa hukum terhadap pembuktian tindak pidana korupsi karena perintah atasan yaitu terdapat perbedaan pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus kasus-kasus tindak pidana korupsi karena perintah atasan. Dalam praktik peradilan di Indonesia, kecenderungan umum dalam penegakan kasus korupsi yaitu perintah atasan tidak dapat membebaskan bawahan dari pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu berdasarkan doktrin pertanggungjawaban hukum, terhadap penegakan dalam kasus tindak pidana korupsi dapat pula dijerat atasan yang abai terhadap tugas pengawasan dan pengendalian atas bawahannya.
Disarankan agar terdapatnya aturan yang jelas dan komprehensif dengan menerapkan doktrin pertanggungjawaban atasan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal ini penting untuk menjaga akuntabilitas para pejabat senior dan mencegah penyalahgunaan kewenangan, dan disarankan pula penerapan doktrin pertanggungjawaban atasan dalam penegakan hukum korupsi di Indonesia dapat menjadi salah satu strategi efektif untuk memperkuat akuntabilitas dan mencegah tindak pidana korupsi yang sistemik, terutama terkait kriteria pertanggungjawaban atasan, pembagian beban pembuktian, dan sanksi yang memadai.
Kata Kunci: Pembuktian, Tindak Pidana Korupsi, Perintah Atasan.

Sanctions against corruption crimes by those who have authority, position, and position can be seen from the provisions of Article 3 of Law No. 20 of 2001 concerning Amendments to Law No. 31 of 1999 concerning the Eradication of Corruption Crimes (hereinafter referred to as the PTPK Law). In the case of corruption committed by subordinates on orders of office, they should be able to pay attention to the provisions of Article 51 Paragraph (1) of the Criminal Code which states that acts carried out due to orders of office, given by authorized rulers, are not punished. Furthermore, Article 51 paragraph (2) of the Criminal Code also states that for an order of office without authority, it does not lead to the abolition of the penalty, unless the person who is ordered in good faith thinks that the order is given with authority and its implementation is included in the scope of his work. However, in fact the article is often ignored, some cases that occur against subordinates who commit corruption crimes are still processed with the phrase "benefiting others" as stated in Article 3 of the PTPK Law. The problems raised in this study include: (1) Why can corruption crimes due to orders of superiors be punished?, and (2) How is the legal analysis of proving cases of corruption crimes due to orders of superiors? This study aims to find out and explain the provisions of corruption crimes because the orders of superiors can be punished or not, and can explain legal analysis related to proving cases of corruption crimes due to orders of superiors. The research method used in this study is normative juridical legal research, which is research conducted by looking at legal aspects based on laws and regulations related to corruption crimes in order to answer existing problems. The approach used in this study is the Statute Approach and the case approach. The data sources used are secondary data in the form of legal materials and related to the topics discussed. To obtain additional data, this study also uses interview techniques with sources that are considered relevant to the research. The data that has been obtained are then analyzed through a qualitative approach so that conclusions can be drawn by deductive methods that produce a general conclusion about the problems and objectives of the research. The results of the study show that the PTPK Law has regulated the impermissibility of corruption committed due to the order of the superior, and if it is associated with Article 51 paragraph (1) of the Criminal Code, it is stated that for a subordinate who commits corruption due to the order of the superior, the criminal abolition of the subordinate applies. Therefore, in examining cases of corruption, the Judge should be able to distinguish between legitimate orders of superiors and those that do not by considering several factors, including: sufficient evidence, juridical analysis, testing of what is presented, psychological factors, sociolegal factors, ratio decidendi, as well as historical context and precedent. Legal analysis of the proof of corruption crimes due to orders of superiors is that thereare differences in legal considerations used by judges in examining, adjudicating, and deciding cases of corruption crimes due to orders of superiors. In judicial practice in Indonesia, the general tendency in the enforcement of corruption cases is that the order of the superior cannot exempt the subordinate from criminal liability. Therefore, based on the doctrine of legal responsibility, enforcement in cases of corruption can also be charged with superiors who neglect their duties of supervision and control over their subordinates. It is recommended that there be clear and comprehensive rules by applying the doctrine of superior accountability in law enforcement of corruption crimes in Indonesia. This is important to maintain the accountability of senior officials and prevent abuse of authority, and it is also suggested that the application of the doctrine of superior accountability in corruption law enforcement in Indonesia can be one of the effective strategies to strengthen accountability and prevent systemic corruption crimes, especially related to the criteria for superior accountability, the sharing of the burden of proof, and adequate sanctions. Keywords: Proof, Corruption Crimes, Orders from superiors.

Citation



    SERVICES DESK