PENGARUH INDUKSI SUPEROVULASI MENGGUNAKAN FOLLICLE STIMULATING HORMONE TERHADAP PENINGKATAN KONSENTRASI HORMON PROGESTERON PADA KELINCI NEW ZEALAND WHITE | ELECTRONIC THESES AND DISSERTATION

Electronic Theses and Dissertation

Universitas Syiah Kuala

    SKRIPSI

PENGARUH INDUKSI SUPEROVULASI MENGGUNAKAN FOLLICLE STIMULATING HORMONE TERHADAP PENINGKATAN KONSENTRASI HORMON PROGESTERON PADA KELINCI NEW ZEALAND WHITE


Pengarang

M. Farhan - Personal Name;

Dosen Pembimbing

Sri Wahyuni - 196911192003122001 - Dosen Pembimbing I
Tongku Nizwan Siregar - 196909011994031003 - Dosen Pembimbing I



Nomor Pokok Mahasiswa

1902101010107

Fakultas & Prodi

Fakultas Kedokteran Hewan / Pendidikan Kedokteran Hewan (S1) / PDDIKTI : 54261

Subject
-
Kata Kunci
-
Penerbit

Banda Aceh : Fakultas Kedokteran Hewan., 2023

Bahasa

No Classification

-

Literature Searching Service

Hard copy atau foto copy dari buku ini dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan hubungi via telegram (Chat Services LSS)

ABSTRAK

Superovulasi melalui pemberian hormon gonadotropin bertujuan meningkatkan jumlah ovulasi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah corpus luteum sehingga konsentrasi progesteron meningkat. Penelitian ini bertujuan mengetahui peningkatan konsentrasi hormon progesteron pada kelinci New Zealand White (NZW) setelah induksi superovulasi dengan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Dalam penelitian ini digunakan enam ekor kelinci NZW betina dengan kategori berat badan 2-3 kg, sudah pernah beranak, dan tidak dalam kondisi bunting. Pada penelitian ini juga digunakan 1 ekor kelinci jantan NZW. Sebelum perlakuan, kelinci diadaptasikan selama 30 hari pada kandang yang terpisah. Kelinci dibagi atas dua kelompok perlakuan, yakni kelompok NZW1 (n=3) sebagai kelompok kontrol yang diinjeksi dengan NaCl fisiologis dan kelompok NZW2 (n=3) yang diinjeksi dengan FSH. Injeksi NaCl fisiologis atau FSH dilakukan sebanyak lima kali dengan interval setiap penyuntikan adalah 12 jam. Injeksi pertama kali dilakukan pukul 20.00 WIB. Pada NZW1, tiap-tiap injeksi diberikan NaCl fisiologis dengan volume masing-masing adalah 0,2:0,2+0,2;0,4+0,4 ml sedangkan pada NZW2, tiap-tiap injeksi diberikan FSH dengan dosis masing-masing adalah 4:4+4:8+8 mg. Dua belas jam setelah injeksi FSH terakhir, kelinci NZW2 diinjeksi dengan 100 IU hCG dan dikawinkan dengan pejantan, sedangkan kelinci NZW1 dikawinkan tanpa pemberian hCG. Koleksi sampel darah dilakukan pada hari ke-1, ke-3, dan ke-5 setelah perkawinan untuk pengukuran konsentrasi progesteron menggunakan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Konsentrasi progesteron pada hari ke-1; 3; dan 5 pada kelompok NZW1 vs NZW2 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dengan konsentrasi masing-masing adalah 3,06±2,61 vs 2,49±1,99; 3,96±2,97 vs 5,72±7,84; dan 5,28±4,77 vs 9,79±13,90 ng/ml. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian FSH tidak dapat meningkatkan konsentrasi hormon progesteron pascaperkawinan pada kelinci NZW dan profil progesteron tidak mengalami fluktuasi.

Kata kunci: FSH, hCG, hormon progesteron, kelinci NZW, dan superovulasi.

ABSTRACT Superovulation through administration of gonadotropin hormones aims to increase the number of ovulations which is characterized by an increase in the number of corpushu luteum resulting an increase of progesterone concentration. This study aims to determine the increase in the concentration of the progesterone hormone post mating in New Zealand White (NZW) rabbits after superovulation induction using follicle stimulating hormone (FSH). Six females of NZW rabbits with body weight 2-3 kg, had given birth, and were not pregnant were used in this study. In this study, one male NZW rabbit was also used. Prior to treatment, the rabbits were adapted for 30 days in separate cages. The rabbits were divided into two treatment groups, namely the NZW1 group (n=3) as the control group, which was injected with physiological NaCl and the NZW2 group (n=3) which was injected with FSH. Physiological NaCl or FSH injections were carried out five times with an interval of 12 hours. The first injection was carried out at 8.00 p.m. At NZW1, each injection was given physiological NaCl with a volume of 0.2:0.2+0.2;0.4+0.4 ml respectively whereas in NZW2, each injection was given FSH with a dose of 4:4+4:8+8 mg respectively. Twelve hours after the last injection of FSH, rabbits in NZW2 were injected with 100 IU hCG and mated with male rabbit whereas NZW1 rabbits were mated without hCG administration. Blood samples were collected on day 1; 3; and 5 after mated for progesterone measurement using the enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) method. Progesterone concentration on day 1; 3; and 5 in the NZW1 vs NZW2 groups did not show significant difference (P>0.05) with concentration 3.06 ± 2.61 vs 2.49 ± 1.99; 3.96 ± 2.97 vs 5.72 ± 7.84; and 5.28±4.77 vs 9.79±13.90 ng/ml, respectively. Based on the results of the study it can be concluded that the administration of FSH could not increase the post-mating concentration of the hormone progesterone in NZW rabbits and the progesterone profile did not fluctuate. Keywords: FSH, hCG, NZW rabbit, progesterone hormone, and superovulation.

Citation



    SERVICES DESK