Electronic Theses and Dissertation
Universitas Syiah Kuala
THESES
KECAKAPAN DAN TANGGUNG JAWAB ANAK DALAM WANPRESTASI PERJANJIAN JUAL BELI SECARA ELEKTRONIK
Pengarang
SATRIA WIBOWO - Personal Name;
Dosen Pembimbing
Nomor Pokok Mahasiswa
1609200030002
Fakultas & Prodi
Fakultas Hukum / Ilmu Hukum (S2) / PDDIKTI : 74101
Penerbit
Banda Aceh : Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala., 2022
Bahasa
Indonesia
No Classification
343.08
Literature Searching Service
Hard copy atau foto copy dari buku ini dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan hubungi via telegram (Chat Services LSS)
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, salah satu syarat keabsahan perjanjian adalah cakap. Pasal 1330 jo 330 mengatur bahwa, cakap dalam membuat perjanjian adalah bagi mereka yang telah mencapai usia 21 tahun. Perjanjian secara elektronik merupakan perjanjian yang dibuat tanpa mempertemukan antar pihak sehingga menyulitkan para pihak untuk mengetahui kecakapan antar pihak. Akibatnya, banyak praktik perjanjian secara elektronik dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum. Tanggung jawab akibat wanprestasi perjanjian secara elektronik oleh orang yang tidak cakap hukum, dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal 21 angka (2) huruf (a) UU ITE. Pihak yang bertanggungjawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik, jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi. Bertolak belakang dengan Pasal tersebut, Pasal 1367 KUHPerdata menyatakan bahwa, jika terjadi wanprestasi dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum, tanggung jawab dilimpahkan kepada orang tua. Hal ini memunculkan permasalahan dalam penerapan hukum di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pengaturan ideal kecakapan anak sebagai syarat keabsahan perjanjian jual beli secara elektronik; dan tanggung jawab anak sebagai penjual yang wanprestasi pada perjanjian jual beli secara elektronik.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, yang bertujuan untuk mengkaji norma. Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research). Data sekunder dalam penelitian ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Semua data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan, disusun dalam suatu susunan yang komprehensif, kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan penguraian deskriptif analitis dan preskriptif. Dalam hal ini, berpedoman pada asas dan norma hukum yang ada.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa KUHPerdata merupakan satu-satunya peraturan perundang-undangan, yang mengatur tentang batas usia cakap bertindak yang paling tinggi yaitu 21 tahun. Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 330 KUHPerdata. Pasal 47 dan Pasal 50 UU Perkawinan, serta beberapa hukum perjanjian lainnya menyatakan bahwa batas usia bertindak seseorang untuk dapat membuat perjanjian adalah 18 tahun. UU ITE dan PP PSTE secara khusus tidak merumuskan tentang batasan usia cakap dalam melakukan perbuatan hukum, namun menghendaki batasan usia cakap sesuai dengan Hukum Adat dan Hukum Islam yang mengisyaratkan bahwa cakap adalah orang yang telah berusia 15 tahun.
Pengaturan yang ideal untuk menentukan kecakapan anak sebagai syarat keabsahan perjanjian jual beli secara elektronik adalah pada usia 15 tahun, sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Adat, Hukum Islam dan beberapa putusan pengadilan dalam menentukan kecakapan bertindak seseorang adalah pada usia 15 tahun. Berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata bahwa jika terjadi wanprestasi dilakukan anak di bawah umur termasuk pada perjanjian secara elektronik, maka yang bertanggungjawab adalah orang tua. Bertolak belakang dengan Pasal tersebut, Pasal 21 angka (2) huruf (a) UU ITE jo Pasal 3 angka (1) PP PSTE menghendaki agar pertanggungjawaban atas wanprestasi yang dilakukan dalam perjanjian secara elektronik ditanggung oleh pihak yang membuat perjanjian. Terlebih jika secara fisik dan psikologi dapat dibuktikan bahwa orang tersebut telah cakap untuk bertindak. Namun, hanya batas usianya yang belum mencapai usia 21 tahun. Idealnya orang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban tanpa harus melimpahkan tanggung jawabnya kepada orang tua, hanya karena usianya yang belum genap 21 tahun.
Oleh karena itu, terdapat 3 saran atas pokok permasalahan. Pertama, Pembentuk undang-undang agar meninjau ulang peraturan terkait batasan usia cakap bertindak dalam hukum perjanjian, terutama perjanjian secara elektronik. Kedua, Pembentuk undang-undang agar lebih menegaskan batas usia ideal untuk membuat perjanjian, agar lebih relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang, terutama dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap perjanjian jual beli secara elektronik. Ketiga, Pembentuk undang-undang agar menetapkan aturan terkait dengan pelaksanaan tanggung jawab anak selaku penjual dalam wanprestasi perjanjian jual beli secara elektronik, agar dapat dijadikan acuan oleh hakim dalam memutus perkara yang berhubungan dengan hal tersebut.
Kata Kunci: Kecakapan, Tanggung Jawab, Anak, Wanprestasi, Perjanjian Secara Elektronik.
Article 1320 of Indonesian Civil Code provides that one of the contract requirements is maturity. Article 1330 in connection with Article 330 regulates that maturity in making a contract is for those who have reached 21 years of age. A contract made electronically is a contract made without meeting between parties hence it cause difficulty for them to know the maturity between parties. The consequence is in practice many contract made electronically made by those who are not mature. Responsibility of the breach of contract electronically for them, who are not mature, can be seen in Article 21 verse (2) (a) of the Act of Information and Electronic Transaction (hereafter called ITE Act). Parties who are held liable for the consequence in such transaction, if it is made by himself, all legal consequences in the electronic transaction becomes the responsibility of the parties making the contract. Conversely, Article 1367 of the Code states that, if there is a breach of contract done by not mature parties, parent of the child are held liable. It becomes a problem in Indonesian law enforcement. This research aims to know and explain ideal regulation on child maturity as a requirement for making the contract valid in e-commerce; and child responsibility as a seller who are breaching electronic commerce contract. This is normative legal research, aiming to explore norms. This research uses statutory, case approach, conceptual, and comparative approaches. The data are collected though library research. Secondary data in this research comprises of primary, secondary, and tertiary legal sources. All data obtained are then arranged comprehensively. These then are analyzed qualitatively through descriptive analytical and prescriptive approaches. In this case, it refers to laws and norms applied. The findings are the Indonesia Civil Code is the only law regulates the highest limit of maturity that is 21 years of age. It is in accordance with Article 330 of the Indonesian Civil Code. Article 47 and Article 50 of the Marriage Act, and laws regulating contract states that the limit of a person to make a contract is 18 years of age. The ITE Act and PP PSTE specifically do not rule the age of maturity limit in acting legally, but it requires maturity age limit based on Customary Law and Islamic Law requiring that maturity is if some one reaches the age of 15. Ideal legislation to determine child maturity as a requirement in making a valid e-commerce contract is at the age of 15, based on Customary Law, Islamic Law and some court decision in determining the maturity of acting legally is at the age of 15 years of age. Pursuant to Article 1367 of the Indonesian Civil Code is if there is a breach of contract committed by a child under age including in e-commerce hence the parents should be held responsible. In contrast, Article 21 verse (2) (a) of the ITE Act in conjunction with Article 3 verse (1) of PP PSTE aim to hold both parties in the contract are responsible for the contract breach. Physically and psychologically can be proved that the parties are mature already. However, the age is not reaching 21 years old yet. Ideally, the party can be held liable without putting it under the parent’s liability as the age is below 21 years of age. Thus, there are 3 recommendations for this problem. First, lawmakers should review laws relating the limit of maturity in making a contract especially in e-commerce. Secondly, they should be more strict on determining the limit of ideal maturity to make a contract to be more relevant with Indonesian condition nowadays especially in fulfilling the need of people on e-commerce contract. Thirdly, the law makers should make related laws relating a child’s responsibility as a seller in e commerce transaction, hence it can be a guidance for judges in making decision regarding this matter. Key words: Maturity, Child Responsibility, Child, Breach, E-commerce Contract
JUAL BELI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM (Wilda Karima, 2015)
KECAKAPAN DAN TANGGUNG JAWAB ANAK DALAM WANPRESTASI PERJANJIAN JUAL BELI SECARA ELEKTRONIK (SATRIA WIBOWO, 2022)
ASAS KESEIMBANGAN TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK MELALUI TRANSAKSI JUAL BELI E-COMMERCE (CUT SARAH MAULIDA, 2024)
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM JUAL BELI HANDPHONE EKS- INTERNASIONAL MELALUI E-COMMERCE (Muhammad Attar Akhwam, 2024)
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN RNDALAM JUAL BELI LAPTOP BUKAN BARU MELALUI E-COMMERCE TOKOPEDIA (MUHAMMAD YASIR AULIA, 2022)